Kisah Nabi Ibrahim AS dalam Mencari Tuhan dan Tidak Terbakar Api
Ibrahim adalah anak Azar, seorang
pembuat patung sesembahan (berhala). Setelah dewasa ia mempunyai
kecerdasan berfikir tentang alam semesta. Ia yakin semua yang dilihatnya
di bumi ini pasti ada yang menciptakannya. Dia selalu bertanya dalam
hati “Siapakah yang menciptakan saya? Siapakah yang membuat langit, bumi
dan segala isinya?
Dalam keterbatasannya, Ibrahim bertanya
kepada Bapaknya. “Wahai Bapak, siapakah yang menciptakan saya?” “Kami,
Bapak dan Ibumu.” Jawab bapaknya. “Lalu siapakah yang menciptakan bapak
dan ibu?” tanya Ibrahim. “Tentulah kakek dan nenekmu.”
Tidak puas dengan jawaban bapaknya,
mulailah Ibrahim mencari sosok Tuhan pada alam sekitarnya. Ketika
Ibrahim melihat matahari pada siang hari dia berfikir bahwa itulah
tuhannya. Ketika malam datang dan matahari terbenam digantikan dengan
bulan maka Ibrahim berubah fikiran bahwa bulanlah yang akan menjadi
Tuhannya. Namun ketika pagi datang dan matahari bersinar kembali ia
bingung dan memutuskan kedua benda itu bukanTuhannya karena secara
bergantian terbit dan tenggelam.
Sewaktu Ibrahim melihat semua orang
menyembah patung berhala dia bertanya dalam hati, “mengapa mereka
menyembah berhala yang tidak bisa berbuat apa-apa? Bukankah patung itu
buatan mereka sendiri? Seperti yang dilakukan bapakku selama ini?”
Menjelang dewasa, Allah meresapkan wahyu
dan hidayah ke dalam kalbu Ibrahim. Mulailah terbuka pikirannya dan
meyakini sepenuhnya bahwa yang patut disembah adalah Sesuatu yang
menciptakan dirinya dan alam semesta ini. Dialah Tuhan yang Maha Esa.
Semenjak itu, tergeraklah hati Ibrahim untuk menyampaikan kebenaran yang
diyakininya kepada kaumnya.
Ajakan Ibrahim pertama kali ditujukan
kepada Bapaknya. “Wahai Bapak, tidak sepantasnya engkau menyembah
berhala, karena dia adalah benda mati yang tidak dapat memberikan
pertolongan. Sesungguhnya telah datang kebenaran kepadaku tentang siapa
sebenarnya Tuhan yang patut disembah. Ikutilah aku Bapak, niscaya
engkau akan menemukan jalan yang lurus.”
Mendengar ajakan Ibrahim, bapak Ibrahim
sangatlah murka. “Bila engkau tidak mau menganut kepercayaan nenek
moyang, aku akan menghancurkan tubuhmu atau lebih baik engkau pergi dari
rumah ini.”
Pengusiran sang Bapak adalah ujian
pertama sejak Ibrahim menerima tanda kenabian. Dengan lapang dada dia
meninggalkan rumah orang tuanya. Sama sekali dia tidak sakit hati bahkan
ia memohon kepada Allah agar Bapaknya diampuni dan dibimbing ke jalan
yang benar.
Kegagalan Ibrahim dalam meluruskan sang
Bapak tidak membuatnya putus asa. Hatinya tetap terpanggil untuk
menyampaikan kebenaran. Ia merasa meluruskan umatnya yang tersesat
adalah tanggung jawabnya. “Wahai kaumku, apakah patung itu bisa melihat
dan mendengar sehingga kalian menyembah dan memohon kepadanya?”
“Kami hanya mengikuti apa yang dilakukan
nenek moyang.” Jawab kaumnya. “Sungguh, kalian berada dalam kesesatan
yang nyata. Dengar, aku membawa kepadamu agama yang benar, agama Allah
SWT. Dialah Tuhan yang patut kalian sembah, pencipta alam semesta.”
Serempak mereka menolak mentah-mentah
kebenaran yang disampaikan oleh Ibrahim. Setelah berkali-kali ajakannya
tidak mendapatkan tanggapan, bahkan dibalas dengan ejekan maka Nabi
Ibrahim mencoba dengan cara lain.
Suatu hari pergilah Ibrahim ke tempat
pemujaan berhala kaumnya dengan membawa kampak. Dihancurkannya semua
berhala yang ada kecuali berhala yang paling besar. Lalu ditinggalkannya
kampak pada berhala tersebut.
Mengetahui berhala-berhala berantakan,
kaumnya yakin bahwa semua ini adalah ulah Nabi Ibrahim karena beliaulah
yang selama ini menentang kepercayaan mereka. Maka ditangkaplah Ibrahim.
Hai Ibrahim, engkaukah yang menghancurkan tuhan-tuhan kami? Tanya
pemuka mereka.
Ibrahim dengan tenang menjawab “Tanyakan
saja pada patung yang paling besar yang masih utuh itu, barangkali dia
yang menghancurkan patung-patung kecil. Lihat, bukankah dia yang
menyandang kampak?” “Bodoh benar kau Ibrahim! Mana mungkin benda mati
itu mengerti pertanyaan kami?” Bantah mereka.
“Nah, kalian telah mengakui sendiri
bahwa itu benda mati, tapi kenapa tetap saja kalian sembah?” Jawab
Ibrahim. “Ketahuilah, umatku, sesungguhnya hanya Allah yang berhak di
sembah.”
Mereka terdiam tidak bisa menjawab.
Setelah melewati perdebatan yang cukup seru diantara mereka, maka
tercapailah kesepakatan. “Bakar Ibrahim dan bela berhala-berhala kita.”
Pada hari yang telah ditetapkan, mereka telah mengumpulkan kayu bakar
sebanyak-banyaknya. Kemudian kayu itu disusun menyerupai bukit kecil dan
Ibrahim dipaksa berdiri atas tumpukan kayu itu.
Tanpa perasaan menyesal, Ibrahim turuti
perintah kaumnya. Dengan hati tenang Ibrahim berdiri di atas kayu itu.
Ia yakin, ini semata-mata ujian dari Allah. Maka itu ia yakin juga bahwa
Allah pasti akan memberikan perlindungan dan pertolongan kepadanya.
Saat api berkobar dan terus membesar, Ibrahim tetap tenang sementara
kaumnya bersorak-sorai penuh kemenangan.
Tetapi ketika kayu bakar sudah habis
menjadi abu dan api mulai padam, kaumnya melihat Ibrahim menggigil
kedinginan. Semua yang melihatnya terheran-heran dan tidak percaya.
“Masihkah kalian tidak percaya pada
kebenaran yang aku sampaikan? Inilah salah satu tanda kenabianku, tidak
terbakar oleh api” kata Ibrahim. Melihat kejadian itu, mulailah satu
demi satu diantara mereka beriman kepada agama yang dibawa Ibrahim.
0 komentar:
Posting Komentar